Minggu, 09 Juni 2013

Benarkah Syiah Mengikuti Ahlulbait?

Syiah selalu menukil hadits tsaqalain, demi menegaskan wajibnya mengikuti ahlulbait. Tapi apakah syiah konsekuen dengan ucapannya sendiri? Ini yang perlu kita teliti.
Mengikuti Al Qur’an adalah dengan mengikuti perintah yang ada di dalamnya, dan menjauhi larangannya. Itulah mengikuti. Begitu juga dengan mengikuti ahlulbait, dengan mengikuti perintah mereka, dan menjauhi apa yang mereka larang.
Al Qur’an ada di depan kita, dapat kita baca setiap hari. Dengan mudah kita mengakses perintah dan larangan. Tetapi ahlulbait, mereka telah pergi meninggalkan kita. 11 imam telah pergi menghadap Allah, sementara yang ke 12 malah pergi bersembunyi, meninggalkan tugasnya untuk menjaga syareat, meninggalkan fungsinya sebagai penerus Nabi Muhammad SAWW. Bagaimana caranya mengakses perintah ahlulbait?
Kitab syiah memiliki kitab-kitab yang memuat riwayat dari para imam mereka. Dengan kitab-kitab itulah mereka bisa mengikuti ahlulbait.
Tentunya tidak semua riwayat bisa diterima begitu saja, tapi harus ada proses penelitian mengenai validitas perawi, apakah cacat atau valid. Dari situ bisa diketahui mana riwayat yang shahih maupun yang dhaif.
Jika sebuah riwayat dari seorang imam terbukti shahih, maka harus diikuti, karena riwayat itu memuat sabda imam yang maksum –menurut syiah-, imam yang terbebas dari salah dan lupa. Sabdanya memiliki kekuatan hukum yaitu wajib diikuti. Inilah inti hadits tsaqalain, yaitu perintah untuk mengikuti ahlulbait.

Tetapi apa yang terjadi?
Ketika sebuah riwayat shahih dari imam maksum menyelisihi pendapat ulama syiah, mereka mengambil pendapat ulama syiah dan meninggalkan riwayat dari imam maksum. Seolah-oleh yang maksum di sini adalah para ulama syiah, bukan 12 imam ahlulbait. Ahlulbait tidak lagi maksum ketika ada sabdanya yang menyelisihi ulama syiah.
Al Isytahardi menyatakan dalam Taqrirat Fi Ushulil Fiqh- Taqrir Bahts Al Burjuwardi, hal 296 :
Dari sini terkenal sebuah kaedah, bahwa ketika sebuah riwayat semakin shahih, maka derajatnya semakin dhaif dan meragukan ketika riwayat itu ditinggalkan oleh ulama kami, dan sebaliknya, ketika riwayat semakin dhaif tapi diamalkan oleh ulama kami, maka akan semakin kuat, seperti dalam masalah yang ditunjukkan…
Kesimpulannya, ucapan para imam ditentukan oleh sikap ulama syiah terhadap riwayat itu. Ketika sabda para imam menyelisihi keinginan ulama syiah, maka yang harus diikuti adalah keinginan ulama syiah, bukan lagi sabda imam ahlulbait. Apakah berarti ahlulbait sudah keluar dari tsaqalain yang harus diikuti, dan digantikan oleh ulama syiah?
Mirza Al Qummi dalam Ghana’imul Ayyam jilid 1 hal 414 menyatakan :
Riwayat-riwayat ini, ketika semakin banyak jumlah, sanad dan dilalahnya, ketika ditinggalkan oleh kebanyakan ulama kami, maka akan semakin bertambah dhaif (lemah), apalagi ketika para ulama malah mengamalkan hadits yang jumlahnya lebih sedikit, sanadnya dan dilalahnya lebih sedikit.
Sementara Sayyid Al Kalbaikani dalam Durr al Mandhud jilid 1 hal 330-331 mengatakan:
Tetapi pendapat yang dikenal dan digunakan oleh kebanyakan ulama, dan kami pun memegang pendapat itu, yaitu sebuah riwayat tidak lagi digunakan karena hal tadi, dan telah masyhur bahwa ketika hadits semakin shahih sanadnya, maka akan bertambah lemah karena tidak digunakan oleh kebanyakan ulama, semakin sebuah hadits lemah sanadnya, maka akan semakin kuat karena diamalkan oleh kebanyakan ulama
Dalam Kitab At Thaharah jilid 3 hal 597, Sayyid Al Khomeini menyatakan:
Mencegah kita untuk memaksakan pendapat karena terpesona oleh riwayat yang shahih lagi banyak, dalam konteks ini dikatakan: semakin riwayat itu banyak dan shahih, maka semakin lemah
Dalam Muntahal Ushul jilid 2 hal 154, Hasan bin Ali Asghar Al Musawi Al Bajnawardi menyatakan:
Dan begitu juga, ketika ulama mengabaikan dan tidak mengamalkan riwayat, maka ini membuat dalil itu tidak lagi dijadikan hujjah, meski riwayat itu shahih, sampai ulama syiah mengatakan : semakin riwayat itu shahih, maka semakin lemah, inilah maksud ucapan para ulama: ketika ulama meninggalkan sebuah riwayat, itu membuat sanad riwayat itu tidak dipercaya, dan mematahkan riwayat itu, meski riwayat itu sanadnya kuat.
Begitu pula dalam Al Yanabi’ Al Fiqhiyyah jilid 35 hal 441, Ali Asghar Marwarid mengatakan :
Al Murtadha mengatakan : riwayat ini shahih, tetapi ketenaran itu sendiri adalah riwayat dan fatwa, bahkan ijma’ pun menentang riwayat itu.
Lalu apa lagi gunanya adalah penelitian hadits, jika hadits yang shahih bisa digugurkan oleh ulama?
Sebenarnya siapa yang menjadi panutan syiah? Imam maksum atau ulama syiah yang tidak maksum?
Apa gunanya imam maksum jika ucapannya dapat digugurkan oleh ulama-ulama syiah yang tidak maksum?
Syiah selalu berdalil dengan hadits tsaqalain, namun di saat yang sama syiah membuangnya jauh-jauh.

Kalau Syiah Sesat, Mengapa Boleh Masuk Tanah Suci?

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Bertahun-tahun silam pernah diadakan diskusi antara seorang Ustadz dari PP Persis Bandung dengan Jalaluddin Rahmat (tokoh Syiah asal Bandung). Dalam makalahnya, Ustadz Persis itu tanpa tedeng aling-aling membuat kajian berjudul, “Syiah Bukan Bagian dari Islam”.
Ketika sessi dialog berlangsung, Ustadz Persis itu -dengan pertolongan Allah- mampu mematahkan argumen-argumen Jalaluddin Rahmat. Kejadiannya mirip, ketika dilakukan diskusi di Malang antara Jalaluddin Rahmat dengan Ustadz-ustadz Persis Bangil; ketika merespon lahirnya buku Islam Aktual, karya Jalaluddin Rahmat.
Ada satu momen penting menjelang akhir diskusi di Bandung itu. Saat itu Jalaluddin mengatakan, “Kalau memang Syiah dianggap sesat dan bukan bagian dari Islam, mengapa Pemerintah Saudi masih memperbolehkan kaum Syiah menunaikan Haji ke Tanah Suci?” Nah, atas pernyataan ini, tidak ada tanggapan serius dari para Ustadz di atas.
Ternyata, Mereka Masih Butuh Tanah Suci (Makkah & Madinah).
Dan ternyata, kata-kata serupa itu dipakai oleh Prof. Dr. Umar Shibah, tokoh Syiah yang menyusup ke lembaga MUI Pusat. Ketika kaum Syiah terdesak, dia mengemukakan kalimat pembelaan yang sama. “Kalau Syiah dianggap sesat, mengapa mereka masih boleh berhaji ke Tanah Suci?”
Lalu, bagaimana kalau pertanyaan di atas disampaikan kepada Anda-Anda semua wahai, kaum Muslimin? Apa jawaban Anda? Apakah Anda akan memberikan jawaban yang tepat, atau memilih menghindar?
Sekedar catatan, konon dalam sebuah diskusi antara Jalaluddin Rahmat dengan Ustadz M. Thalib (sekarang Amir MMI). Saat disana ada kebuntuan argumentasi, katanya Ustadz M. Thalib menantang Jalaluddin melakukan “diskusi secara fisik” di luar. Ya, ini sekedar catatan, agar kita selalu mempersiapkan diri dengan argumen-argumen yang handal sebelum “bersilat” pemahaman dengan orang beda akidah.
Mengapa kaum Syiah masih boleh masuk ke Tanah Suci, baik Makkah Al Mukarramah maupun Madinah Al Munawwarah?
Mari kita jawab pertanyaan ini:
PERTAMA, sebaik-baik jawaban ialah Wallahu a’lam. Hanya Allah yang Tahu sebenar-benar alasan di balik kebijakan Pemerintah Saudi memberikan tempat bagi kaum Syiah untuk ziarah ke Makkah dan Madinah.
KEDUA, dalam sekte Syiah terdapat banyak golongan-golongan. Di antara mereka ada yang lebih dekat ke golongan Ahlus Sunnah (yaitu Syiah Zaidiyyah), ada yang moderat kesesatannya, dan ada yang ekstrim (seperti Imamiyyah dan Ismailiyyah). Terhadap kaum Syiah ekstrim ini, rata-rata para ulama tidak mengakui keislaman mereka. Nah, dalam praktiknya, tidak mudah membedakan kelompok-kelompok tadi.
KETIGA, usia sekte Syiah sudah sangat tua. Hampir setua usia sejarah Islam itu sendiri. Tentu cara menghadapi sekte seperti ini berbeda dengan cara menghadapi Ahmadiyyah, aliran Lia Eden, dll. yang termasuk sekte-sekte baru. Bahkan Syiah sudah mempunyai sejarah sendiri, sebelum kekuasaan negeri Saudi dikuasai Dinasti Saud yang berpaham Salafiyyah. Jauh-jauh hari sebelum Dinasti Ibnu Saud berdiri, kaum Syiah sudah masuk Makkah-Madinah. Ibnu Hajar Al Haitsami penyusun kitab As Shawaiq Al Muhriqah, beliau menulis kitab itu dalam rangka memperingatkan bahaya sekte Syiah yang di masanya banyak muncul di Kota Makkah. Padahal kitab ini termasuk kitab turats klasik, sudah ada jauh sebelum era Dinasti Saud.
KEEMPAT, kalau melihat identitas kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, ya rata-rata tertulis “agama Islam”. Negara Iran saja mengklaim sebagai Jumhuriyyah Al Islamiyyah (Republik Islam). Revolusi mereka disebut Revolusi Islam (Al Tsaurah Al Islamiyyah). Data seperti ini tentu sangat menyulitkan untuk memastikan jenis sekte mereka. Lha wong, semuanya disebut “Islam” atau “Muslim”.
KELIMA, kebanyakan kaum Syiah yang datang ke Makkah atau Madinah, mereka orang awam. Artinya, kesyiahan mereka umumnya hanya ikut-ikutan, karena tradisi, atau karena desakan lingkungan. Orang seperti ini berbeda dengan tokoh-tokoh Syiah ekstrem yang memang sudah dianggap murtad dari jalan Islam. Tanda kalau mereka orang awam yaitu kemauan mereka untuk datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah itu sendiri. Kalau mereka Syiah ekstrim, tak akan mau datang ke Tanah Suci Ahlus Sunnah. Mereka sudah punya “tanah suci” sendiri yaitu: Karbala’, Najaf, dan Qum. Perlakuan terhadap kaum Syiah awam tentu harus berbeda dengan perlakuan kepada kalangan ekstrim mereka.
KEENAM, orang-orang Syiah yang datang ke Tanah Suci Makkah-Madinah sangat diharapkan akan mengambil banyak-banyak pelajaran dari kehidupan kaum Muslimin di Makkah-Madinah. Bila mereka tertarik, terkesan, atau bahkan terpikat; mudah-mudahan mau bertaubat dari agamanya, dan kembali ke jalan lurus, agama Islam Ahlus Sunnah.
KETUJUH, hadirnya ribuan kaum Syiah di Tanah Suci Makkah-Madinah, hal tersebut adalah BUKTI BESAR betapa ajaran Islam (Ahlus Sunnah) sesuai dengan fitrah manusia. Meskipun para ulama dan kaum penyesat Syiah sudah bekerja keras sejak ribuan tahun lalu, untuk membuat-buat agama baru yang berbeda dengan ajaran Islam Ahlus Sunnah; tetap saja fitrah mereka tidak bisa dipungkiri, bahwa hati-hati mereka terikat dengan Tanah Suci kaum Muslimin (Makkah-Madinah), bukan Karbala, Najaf, dan Qum.
KEDELAPAN, kaum Syiah di negerinya sangat biasa memuja kubur, menyembah kubur, tawaf mengelilingi kuburan, meminta tolong kepada ahli kubur, berkorban untuk penghuni kubur, dll. Kalau mereka datang ke Makkah-Madinah, maka praktik “ibadah kubur” itu tidak ada disana. Harapannya, mereka bisa belajar untuk meninggalkan ibadah kubur, kalau nanti mereka sudah kembali ke negerinya. Insya Allah.
KESEMBILAN, pertanyaan di atas sebenarnya lebih layak diajukan ke kaum Syiah sendiri, bukan ke Ahlus Sunnah. Mestinya kaum Syiah jangan bertanya, “Mengapa orang Syiah masih boleh ke Makkah-Madinah?” Mestinya pertanyaan ini diubah dan diajukan ke diri mereka sendiri, “Kalau Anda benar-benar Syiah, mengapa masih datang ke Makkah dan Madinah? Bukankah Anda sudah mempunyai ‘kota suci’ sendiri?”

Demikian sebagian jawaban yang bisa diberikan. Semoga bermanfaat. Pesan spesial dari saya, kalau nanti Prof. Dr. Umar Shihab, atau Prof. Dr. Quraish Shihab (dua tokoh ini saudara kandung, kakak-beradik; bersaudara juga dengan Alwi Shihab, Mantan Menlu di era Abdurrahman Wahid), beralasan dengan alasan tersebut di atas; mohon ada yang meluruskannya. Supaya beliau tidak banyak membuang-buang kalam, tanpa guna.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar