Berikut jawaban dari tiga ulama besar di zaman ini:
1. Fatwa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan -hafizhahullah-
Tanya : “Saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat
oleh kabiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan
hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya
meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha
sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali
gagal.
Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada
saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu
diterima ? Haruskah saya mengqadha shalat ? Lantas, apa hukum onani ?
Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi
atau video.”
Jawab :
Onani/Masturbasi hukumnya haram
dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/ kenikmatan) dengan
cara yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan. Allah tidak
membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada
istri atau budak wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela.” [QS. Al-Mu`minun: 5 - 6]
Jadi, istimta’
apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka
tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk
menghilangkan keliaran dan pengaruh negative syahwat.
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa
di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena
nikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang
barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa
itu akan menjadi tameng baginya”. (HR. Al-Bukhari 4/106 dan Muslim no.
1400 dari Ibnu Mas’ud]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat dan menjauhkan diri
dari bahayanya dengan dua cara : berpuasa untuk yang tidak mampu
menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan
bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan
menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka
onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam
kondisi apapun menurut jumhur ulama.
Wajib bagi anda untuk bertaubat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan
seperti itu. Begitu pula, anda harus menjauhi hal-hal yang dapat
mengobarkan syahwat anda, sebagaimana yang anda sebutkan bahwa anda
menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan
syahwat. Wajib bagi anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video
atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat
karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.
Seorang muslim seyogyanya (selalu) menutup pintu-pintu keburukan untuk
dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang
mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri anda, hendaknya anda jauhi.
Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang
menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar
syahwat. Jadi anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada
anda.
Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu
tidak wajib bagi anda. Perbuatan dosa yang anda lakukan itu tidak
membatalkan witir yang telah anda kerjakan. Jika anda mengerjakan shalat
witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu anda melakukan
onani, maka onani itulah yang diharamkan –anda berdosa karena
melakukannya-, sedangkan ibadah yang anda kerjakan tidaklah batal
karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara
yang sesuai syari’at, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik
atau murtad –kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun
dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang
terlah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa. [Al-Muntaqa min Fatawa
Fadhilah Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV 273-274]
2. Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullah-
Tanya :
“Apa hukum melakukan kebiasaan tersembunyi (onani) ?”
Jawab:
“Melakukan kebiasaan tersembunyi (onani), yaitu mengeluarkan mani
dengan tangan atau lainnya hukumnya adalah haram berdasarkan dalil
Al-Qur’an dan Sunnah serta penelitian yang benar.
Dalam
Al-Qur’an dinyatakan, “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari
yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
[QS. Al-Mu'minun: 5 - 7]
Siapa saja mengikuti dorongan
syahwatnya bukan pada istrinya atau budaknya, maka ia telah “mencari
yang di balik itu”, dan berarti ia melanggar batas berdasarkan ayat di
atas.
Rasulllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai
sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai
kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan
mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu
hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya.” (HR.
Al-Bukhari: 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas’ud]
Pada
hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang
yang tidak mampu menikah agar berpuasa. Kalau sekiranya melakukan onani
itu boleh, tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkannya. Oleh karena beliau tidak menganjurkannya, padahal mudah
dilakukan, maka secara pasti dapat diketahui bahwa melakukan onani itu
tidak boleh.
Penelitian yang benar pun telah membuktikan banyak
bahaya yang timbul akibat kebiasaan tersembunyi itu, sebagaimana telah
dijelaskan oleh para dokter. Ada bahayanya yang kembali kepada tubuh dan
kepada system reproduksi, kepada fikiran dan juga kepada sikap. Bahkan
dapat menghambat pernikahan yang sesungguhnya. Sebab apabila seseorang
telah dapat memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara seperti itu, maka
boleh jadi ia tidak menghiraukan pernikahan.
[As ilah muhimmah
ajaba ‘alaiha Ibnu Utsaimin, hal. 9, disalin dari buku Fatawa
Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad
Al-Haram]
3. Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz -rahimahullah-
Tanya:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : “Ada seseorang yang berkata ;
Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa
disebut zina dan apa hukumnya ?”
Jawab:
Ini yang disebut
oleh sebagian orang “kebiasaan tersembunyi” dan disebut pula “jildu
‘umairah” dan ‘‘istimna” (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan
inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebutkan
orang-orang Mu’min dan sifat-sifatnya, “Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5 – 7]
Orang yang melampuai batas artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.
Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak
bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah
melampaui batas ; dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan
Allah.
Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat
di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya.
Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat
syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena
mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter
kesehatan.
Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang
masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk
tersebut. Kewajiban anda, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan
menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya
yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang
gamblang dari ayat Al-Qur’an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh
Allah bagi hamba-hambaNya.
Maka ia wajib segera meninggalkan
dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa
makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang
tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya
berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai
kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan
mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu
hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya.”
Di dalam hadits ini beliau tidak mengatakan : “Barangsiapa yang belum
mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya”,
akan tetapi beliau mengatakan : “Dan barangsiapa yang belum mampu
hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”
Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :
Pertama: Segera menikah bagi yang mampu.
Kedua: Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang
belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan
syetan.
Maka hendaklah anda, wahai pemuda, beretika dengan
etika agama dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara
kehormatan diri anda dengan nikah syar’i sekalipun harus dengan
berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan
untuk melunasinya.
Menikah itu merupakan amal shalih dan orang
yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan
di dalam haditsnya, “Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat
pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya
memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang
menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan
mujahid (pejuang) di jalan Allah.” (HR. At-Tirmizi, An-Nasa’i, dan Ibnu
Majah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar