Q.S. Al-Hijr ayat 9
innaa nahnu nazzalnaa aldzdzikra wa-innaa lahu lahaafizhuuna
Artinya :
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (793).
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Hijr 9
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9
Ayat ini merupakan peringatan yang keras bagi orang-orang yang
mengabaikan Alquran, mereka tidak percaya bahwa Alquran itu diturunkan
Allah kepada Rasul Nya Muhammad, seakan-akan Tuhan menegaskan kepada
mereka: “Kamu ini hai orang-orang kafir sebenarnya adalah orang-orang
yang sesat yang memperolok-olokan Nabi dan Rasul yang telah Kami utus
menyampaikan agama Islam kepadamu. Sesungguhnya sikap kamu yang demikian
itu tidak akan mempengaruhi sedikitpun terhadap kemurnian dan kesucian
Alquran, karena Kamilah yang menurunkannya. Kamu menuduh Muhammad
seorang yang gila tetapi Kami menegaskan bahwa Kami sendirilah yang
melihat Alquran itu dari segala macam usaha untuk mengotorinya dan usaha
untuk menambah, mengurangi dan merubah ayat-ayatnya. Kami akan
memeliharanya dari segala macam bentuk campur tangan manusia
terhadapnya. Akan datang saatnya nanti manusia akan menghapal dan
membacanya, mempelajari dan menggali isinya, agar mereka memperoleh dari
Alquran itu petunjuk dan hikmah, tuntunan akhlak dan budi pekerti yang
baik, ilmu pengetahuan dan pedoman berpikir bagi para ahli dan cerdik
pandai, serta petunjuk ke jalan hidup di dunia dan di akhirat nanti”.
Jaminan Allah SWT terhadap pemeliharaan Alquran itu ditegaskan lagi dalam firman Nya:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (8
Artinya:
“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya Nya
meskipun orang-orang kafir benci”. (Q.S As Shaf ayat 8)
Mengenai jaminan Allah terhadap kesucian dan kemurnian Alquran itu
serta penegasan bahwa Allah sendirilah yang memeliharanya akan terbukti
jika diperhatikan dan dipelajari sejarah turunnya Alquran, cara-cara
yang dilakukan Nabi saw menyiarkan memelihara dan membetulkan bacaan
para sahabat, melarang menulis selain ayat-ayat Alquran ini dilanjutkan
dan sebagainya. Kemudian usaha pemeliharaan Alquran ini dilanjutkan oleh
para sahabat, tabiin dan oleh setiap generasi kaum Muslimin yang datang
sesudahnya, sampai kepada masa kini.
Untuk mengetahui dan
membuktikan bahwa Alquran yang sampai kepada kita sekarang adalah murni
dan terpelihara, akan diterangkan sejarah Alquran di masa Rasulullah,
zaman sahabat dan usaha kaum Muslimin memeliharanya pada saat ini serta
sejarah penulisan dan bacaannya:
Pertama:
Alquran
diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw dalam masa
22 tahun 2 bulan 22 hari. Setiap ayat-ayat yang diturunkan Nabi menyuruh
menghafal dan menulisnya di batu, kulit binatang, pelepah tamar dan apa
saja yang dapat dipakai untuk ditulis. Nabi menerangkan bagaimana
ayat-ayat itu disusun dalam surah, mana yang dahulu dan mana yang
kemudian. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Alquran sajalah yang boleh
ditulis, selain dari Alquran itu, seperti hadis atau pelajaran yang
mereka terima dari mulut Nabi dilarang menulisnya. Larangan ini ialah
dengan maksud supaya Alquran Karim itu terpelihara, jangan bercampur
aduk dengan yang lain yang juga di dengar dari Nabi saw. Di samping
menulis Nabi menganjurkan supaya Alquran itu dibaca dan dihafal dan
diwajibkan membacanya dalam salat.
Dengan jalan demikian
banyaklah orang yang hafal Alquran. Surah yang satu macam dihafal oleh
ribuan manusia dan yang hafal seluruh Alquran pun banyak. Dalam pada itu
tidak satu ayatpun yang tidak dituliskan. Untuk mendorong usaha menulis
Alquran, maka Nabi sangat menghargai kepandaian menulis dan membaca.
Pada perang Badar orang-orang musyrikin yang ditawan oleh Nabi, yang
tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai tulis baca,
masing-masing diharuskan mengajar sepuluh orang muslim menulis dan
membaca sebagai ganti tebusan.
Karena itu bertambahlah
keyakinan untuk belajar menulis dan membaca dan bertambah banyaklah yang
pandai menulis dan membaca, dan banyaklah pula orang-orang yang menulis
ayat-ayat yang telah diturunkan. Nabi sendiri mempunyai beberapa orang
penulis yang bertugas menuliskan Alquran untuk beliau. Penulis-penulis
beliau yang terkenal ialah Ali bin Abu Talib, Usman bin Affan, Ubay bin
Kaab, Zaid bin Sabit dan Muawiah. Yang terbanyak menuliskan ialah Zaid
bin Sabit dan Muawiah.
Dengan demikian terdapatlah di masa Nabi tiga unsur yang tolong menolong memelihara Alquran yang telah diturunkan itu, yaitu:
1. Hafalan dari mereka yang hafal Alquran
2. Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi.
3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Dalam pada itu oleh Jibril diadakan ulangan (repitisi) sekali setahun.
Waktu ulangan itu Nabi disuruh mengulang, memperdengarkan Alquran yang
telah diturunkan. Di tahun beliau wafat ulangan itu diadakan oleh Jibril
dua kali.
Nabi sendiri sering pula mengadakan ulangan itu terhadap
sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabatnya itu disuruhnya membacakan
Alquran di hadapannya, untuk membetulkan hafalan dan bacaan mereka.
Nabi baru wafat di waktu Alquran itu telah cukup diturunkan dan telah
dihafal oleh ribuan manusia dan telah ditulis dengan lengkap
ayat-ayatnya. Ayat-ayatnya dalam suatu surah telah disusun menurut
tertib urut yang ditunjukkan sendiri oleh Nabi.
Para sahabat telah
mendengar Alquran itu dari mulut Nabi berkali-kali dalam salat, dalam
pidato-pidato beliau dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain sebagaimana
Nabi sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Pendeknya Alquranul
Karim telah dijaga dan dipelihara dengan baik dan Nabi telah menjalani
suatu cara yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Alquran itu
sesuai dengan keadaan bangsa Arab di waktu itu.
Suatu hal yang
menarik perhatian ialah Nabi baru wafat sebagai disebutkan di atas, di
kala Alquran itu telah cukup diturunkan. Hal ini bukanlah suatu
kebetulan saja, melainkan telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Sesudah
Rasulullah saw wafat, para sahabat sepakat memilih Abu Bakar sebagai
khalifah.
Pada permulaan masa pemerintahannya banyak di antara
orang-orang Islam yang belum kuat imannya menjadi murtad dan ada pula di
antara mereka mendakwakan menjadi Nabi. Karena itu Abu Bakar memerangi
mereka dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Alquran dan
sebelum itu telah gugur pula beberapa orang. Atas anjuran Umar bin
Khattab dan anjuran itu diterima pula oleh Aba Bakar, maka ditugaskan
Zaid bin Sabit menulis kembali Alquran yang naskahnya ditulis pada masa
Nabi dan dibetulkan dengan ayat-ayat Alquran yang berada dalam hafalan
para sahabat yang masih hidup. Setelah selesai menulisnya dalam
lembaran-lembaran, diikat pula dengan benang, tersusun menurut urutan
yang telah ditetapkan Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Aba Bakar.
Setelah Aba Bakar meninggal mushaf ini diserahkan kepada penggantinya
Umar bin Khattab. Setelah Umar meninggal mushaf ini disimpan di rumah
Hafsah, putri Umar dan istri Rasulullah, sampai kepada masa pembukuan
Alquran di masa khalifah Usman bin Affan.
Di masa Khalifah
Usman bin Affan daerah pemerintahan Islam telah sampai ke Armenia dan
Azarbaijan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Dengan
demikian kelihatanlah kaum Muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar
di Mesir, Syria, Irak, Persia dan Afrika. Ke mana mereka pergi dan di
mana mereka tinggal Alquranul Karim itu tetap jadi imam mereka, di
antara mereka banyak yang hafal Alquran itu. Pada mereka ada
naskah-naskah Alquran, tetapi naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak
sama susunan surah-surahnya.
Begitu juga terjadi di antara
mereka pertikaian tentang bacaan Alquran itu. Asal mulanya perbedaan
bacaan ini ialah karena Rasulullah sendiripun memberi kelonggaran kepada
kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya, untuk membacakan dan
melafalkan Alquran itu menurut dialek mereka masing-masing. Kelonggaran
ini diberikan Nabi supaya mereka mudah menghafal Alquran.
Tetapi kemudian kelihatan tanda-tanda bahwa pertikaian tentang bacaan
Alquran ini kalau dibiarkan saja akan mendatangkan perselisihan dan
perpecahan yang tidak diinginkan di kalangan kaum Muslimin.
Orang
yang mula-mula menghadapkan perhatiannya kepada hal ini seorang sahabat
yang bernama Huzaifah bin Yaman. Beliau ikut dalam peperangan
menaklukkan Armenia dan Azerbaijan, selama dalam perjalanan ia pernah
mendengar kaum Muslimin bertikai tentang bacaan beberapa ayat Alquran
dan pernah mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya: “bacaan
saya lebih baik dari bacaanmu”.
Hal ini disampaikan oleh
Huzaifah kepada khalifah Usman bin Affan. Oleh Usman dimintalah kepada
Hafsah mushaf yang disimpannya dahulu; dan dibentuklah panitia terdiri
dari Zaid bin Sabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Said bin As dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Tugas panitia ini ialah membukukan
Alquran, yakni menyalin dari lembaran-lembaran tersebut menjadi buku.
Dalam melaksanakan tugas ini Usman menasihatkan supaya:
a. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Alquran.
b. Kalau ada pertikaian mereka tentang bacaan, maka harus ditulis
menurut dialek suku Quraisy sebab Alquran itu diturunkan menurut dialek
mereka.
Maka dikerjakanlah oleh panitia sebagaimana yang
ditugaskan kepada mereka, dan setelah tugas itu selesai, maka
lembaran-lembaran Alquran yang dipinjam dari Hafsah itu dibakar.
Alquran yang telah dibukukan ini dinamakan “Al Mushaf’ dan oleh panitia
ditulis lima buah “Al Mushaf’. Empat buah di antaranya dikirim ke Mekah,
Syria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula mushaf
yang dapat dibaca oleh kaum Muslimin. Sebuah ditinggalkan di Madinah
untuk Usman sendiri dan itulah yang dinamai “mushaf Al Imam”.
Demikianlah Alquran itu dibukukan pada masa sahabat. Semua mushaf yang
diterbitkan kemudian harus disesuaikan dengan mushaf Al Imam. Kemudian
usaha menjaga kemurnian Alquran itu tetap dilakukan oleh kaum Muslimin
di seluruh dunia, sampai kepada generasi yang sekarang ini.
Usaha-usaha menjaga kemurnian Alquran itu di Indonesia dilakukan dalam bermacam-macam usaha, di antaranya jalan:
1. Mengadakan “Lajnah Pentashih Mushaf Alquran” yang bertugas antara
lain meneliti semua mushaf sebelum mushaf itu diedarkan ke tengah
masyarakat. Panitia ini langsung dibiayai oleh pemerintah Republik
Indonesia dan berada di bawah Menteri Agama.
2. Pemerintah
telah mempunyai Naskah Alquran dan merupakan standard dalam penerbitan
Alquran di Indonesia yang telah disesuaikan dengan Mushaf Al Imam.
3. Mengadakan Musabaqah Tilawatil Quran setiap tahun yang langsung yang diurus oleh negara.
4. Usaha-usaha yang lain yang dilakukan oleh segenap kaum Muslimin,
seperti mengadakan sekolah hafal Alquran, taman pendidikan Alquran
perguruan tinggi Alquran dan sebagainya.
Kedua:
Setelah
Usman bin Affan wafat mushaf Al Imam tetap dianggap sebagai pegangan
satu-satunya oleh umat Islam dalam pembacaan Alquran. Meskipun demikian
terdapat juga beberapa perbedaan dalam pembacaan tersebut. Sebab-sebab
timbulnya perbedaan itu dapat disimpulkan dalam dua hal:
Pertama: Penulisan Alquran itu sendiri.
Kedua: Perbedaan dialek orang-orang Arab.
Penulisan Alquran itu dapat menimbulkan perbedaan, oleh karena Mushaf
Al Imam ditulis oleh sahabat-sababat yang tulisannya belum dapat
dikatakan tulisan yang baik, sebagaimana yang diterangkan dalam buku
“Mukadimah Ibnu Khaldun”. Dalam buku tersebut Ibnu Khaldun berkata:
“perhatikanlah akibat-akibat yang terjadi akibat tulisan mushaf yang
ditulis sendiri oleh sahabat-sahabat dengan tangannya. Tulisan itu tidak
begitu baik, sehingga kadang-kadang terjadilah beberapa kesalahan dalam
tulisan, jika ditinjau dari segi tulisan yang baik dan bagus. Di
samping itu penulisan Mushaf Al Imam adalah tanpa titik dan baris.
Adapun perbedaan dialek orang-orang Arab telah menimbulkan macam-macam
kiraat (bacaan), sehingga pada tahun 200 Hijrah muncullah ahli-ahli
qiraah yang tidak terhitung banyaknya.
Di antara dialek-dialek
bahasa Arab yang masyhur ialah lahjah Quraisy, Huzail, Tamim, Asad,
Rabi’ah, Hawazin dan Saad. Dan waktu itu muncullah qari-qari yang
masyhur, dan yang termasyhur ialah tujuh orang Qari’, yaitu: Abdullah
bin amir, Abu’ Ma’ad Abdullah bin Kasir, Abu Bakar Asim bin Abi Abi An
Nujud, Abu Amr bin A’la, Nafi’ bin Na’im, Abul Hasan Ali bin Hamzah Al
Kisa’i Abu Jarah bin Ubiba/Hamzah.
Qiraah-qiraah itu dipopulerkan orang dengan nama “Qiraah Saba`ah (bacaan yang tujuh).
Sebagaimana diterangkan di atas, Alquran mula-mula ditulis tanpa titik
dan baris, namun demikian hal ini tidak mempengaruhi pembacaan Alquran,
karena para sahabat dan para tabiin adalah orang-orang yang fasih dalam
bahasa Arab. Oleh sebab itu mereka dapat membacanya dengan baik dan
tepat. Tetapi setelah agama Islam tersiar dan banyak bangsa yang bukan
Arab memeluk agama Islam, sulitlah bagi mereka membaca Alquran tanpa
titik dan baris itu. Sangat dikhawatirkan bahwa hal ini akan menimbulkan
kesalahan-kesalahan dalam bacaan Alquran.
Maka Abul Aswad Addu’ali
mengambil inisiatif untuk memberi tanda-tanda dalam Alquran dengan tinta
yang berlainan warnanya, tanda titik itu ialah titik di atas untuk
fatah, titik di bawah untuk kasrah, titik sebelah kiri atas untuk damah
dan dua titik untuk tanwin. Hal ini terjadi pada masa Muawiah bin Abu
Sofyan.
Kemudian di masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, Nasir
bin Asim, dan Yahya bin Amar menambahkan tanda-tanda untuk huruf-huruf
yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Alquran. Itu adalah
untuk membedakan antara maksud dari titik Abul Aswad Adduali dengan
titik yang baru ini. Titik Abul Aswad adalah untuk tanda baca dan titik
Nasir bin Asim adalah untuk huruf. Cara penulisan semacam ini tetap
berlaku pada masa Bani Umayah, dan pada permulaan kerajaan Abbasiyah,
bahkan tetap pula dipakai di Spanyol sampai pertengahan abad ke empat
hijrah. Kemudian ternyata bahwa cara pemberian tanda seperti ini
menimbulkan kesulitan bagi para pembaca Alquran karena terlalu banyak
titik, sedang titik itu lama kelamaan hampir menjadi serupa warnanya.
Maka Al Khalil mengambil inisiatif untuk membuat tanda-tanda yang baru.
yaitu wau kecil ( و ) di atas untuk damah huruf alif kecil ( ا ) untuk
tanda fatah, huruf ya kecil ( ي ) untuk tanda kasrah, kepala huruf syin (
ّ ) untuk tanda syaddah, kepala ha ( ْ ) untuk sukun dan kepala ‘ain ( ْ
) untuk hamzah.
Kemudian tanda-tanda ini dipermudah dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang.
Demikianlah usaha Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin memelihara dan
menjaga Alquran dari segala macam campur tangan manusia, sehingga
Alquran yang ada pada tangan kaum Muslimin pada masa kini, persis sama
dengan Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan hal ini
dijamin Allah akan tetap terpelihara untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar